Kamis, 30 Juni 2016

Cokelat Koin Janjinya


            Sore hari kelabu ini membawa pikiranku terhanyut ke sebuah masa dimana sepertinya tidak ada beban sama sekali dalam hidup, yaitu masa kecilku. Aku teringat di masa itu tak jarang apa yang aku inginkan, kemudian dikabulkan. Aku merasakan kasih sayang yang tulus dari orang-orang di sekitarku, termasuk dari seorang paman yang sangat baik hati.

            Pamanku ini suka mengajariku berbagai macam hal. Ia pernah mengajariku cara menggunakan sebuah mainan yang sedang digemari pada masa itu, yaitu game boy. Paman juga pernah mengajariku cara mengendarai sepeda roda empat. Saat menaiki sepeda dan mencoba untuk menggoesnya, aku merasa ketakutan. Namun paman dengan baiknya, memegangi dan menjagaku dari belakang, hingga akhirnya aku bisa mengendarai sepeda tersebut sendirian.
            Aku juga memiliki seorang kakak laki-laki dalam hidupku, semasa kecil aku dan dia sering sekali tidak rukun karena meributkan hal-hal sepele. Suatu ketika kakakku sedang bermain lego, dan aku sangat ingin memainkannya. Namun ia tidak mengizinkanku untuk menyentuhnya, aku pun menangis karena hal itu. Tiba-tiba pamanku datang menghampiri kami, ia berusaha untuk menenangkan aku hingga tangisku reda. Paman dapat membujuk kakak hingga aku bisa bermain bersama dengannya. Paman juga ikut bermain bersama kami, dan ia berhasil membangun sebuah kastil kecil yang indah dari susunan lego tersebut.
            Aku sangat menyayangi pamanku yang satu ini, ia selalu bisa membuatku bahagia saat bersamanya. Ada satu hal kebiasaan paman yang sangat aku rindukan, yaitu mengusap-usap kepalaku. Saat ada orang lain yang melakukan hal itu padaku, aku pasti akan langsung teringat kepadanya.
            Suatu ketika, orang tuaku berencana untuk membuat sebuah perayaan kecil hari ulang tahunku, dengan mengundang teman-teman dan keluarga. Aku sangat senang mendengar hal tersebut, pasalnya ini adalah kali pertama hari kelahiranku akan dirayakan. Biasanya saat hari ulang tahunku, ibu hanya membuat nasi kuning untuk keluarga kecilku, dan kami semua berdo’a bersama untukku.
            Meskipun hanya perayaan kecil-kecilan, orang tuaku sudah mempersiapkan semua keperluan acaranya dari jauh-jauh hari sebelum hari-H. Mulai dari mencari baju yang akan aku kenakan nanti, mencatat siapa saja yang akan diundang, hingga memesan kue ulang tahun dan souvenir bagi para undangan, sudah mereka rencanakan semuanya.
            Pamanku yang baik hati itu juga mengetahui rencana perayaan ulang tahunku ini. Aku ingat saat itu aku sedang menonton televisi, paman tiba-tiba menghampiriku dan bertannya, “Irin mau kado apa pas ulang tahun nanti?”. Aku pun menjawab dengan singkat, “Cokelat koin!”. Ketika itu aku memang sangat menyukai cokelat berbentuk koin yang dikemas dalam kotak persegi panjang itu. Pamanku kemudian berkata sambil tersenyum, “Nanti om beliin yah!”. Aku sangat senang mendengar akan mendapatkan sesuatu yang jarang aku dapatkan pada waktu itu, dan aku pun tak lupa meminta paman untuk hadir di acara yang dibuat untukku itu.
            Hari yang dinantikan pun akhirnya datang juga, sembilan belas oktober hari ulang tahunku. Semua undangan datang dengan membawa ucapan dan kado untukku. Bahkan keluarga yang tinggal di luar kota pun menyempatkan diri untuk hadir. Aku merasa bahagia sore itu, namun semua itu tak lengkap rasanya, karena paman yang aku sayangi tak datang di hari itu. Ia dan cokelat koin yang dijanjikannya untukku tidak akan pernah datang, karena Tuhan telah memanggilnya, begitulah yanng ibuku katakan.
            Aku tak ingat kapan tepatnya paman pergi meninggalkan kami semua, mungkin sekitar tiga atau empat minggu sebelum hari ulang tahunku. Terakhir kali aku melihatnya, dia sudah terbujur kaku dengan balutan kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Meskipun terlihat menyeramkan, namun aku tidak takut untuk melihatnya. Wajah paman terlihat berseri dengan senyum khasnya yang masih ku ingat sampai saat ini. Senyum ketulusannya yang membuat orang-orang di sekitarnya termasuk aku, menjadi bahagia karenanya. Di saat hari kepergiannya itu, aku ingat banyak sekali orang yang datang untuk melayat dan merasa haru karena kepergian paman. Hal ini membuktikan bahwa bukan hanya kami keluarganya yang pernah ia taburi dengan kebahagiaan, tapi juga mereka yang mengenalnya.
            Waktu itu aku tidak mengerti mengapa keadaan pamanku terbaring kaku dengan dibalut kain putih seperti itu. Saat aku bertanya kepada ibuku tentang keadaan paman, ia hanya menjawab bahwa tugas paman di dunia ini sudah selesai, dan Tuhan telah memanggilnya.
            Setelah beranjak remaja, aku baru mengetahui bahwa kepergian paman disebabkan oleh penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Suatu hari ibuku pernah bercerita kepadaku bahwa paman jarang sekali meminum air putih. Saat merasa kehausan, paman malah lebih suka untuk mengulumi es batu. Mungkin inilah salah satu penyebab dari penyakit yang dideritanya itu. Ibu juga mengatakan betapa tidak teganya ia dan keluarga yang lain melihat keadaan paman saat rasa sakit yang dideritanya kambuh dan saat ia harus melakukan cuci darah. Menurut ibu, saat paman dirawat di rumah sakit, aku sering diajaknya untuk menemani paman. Tapi entah mengapa aku tak ingat sama sekali akan hal itu.
            Nenekku juga pernah bercerita kepadaku tentang saat sebelum kepergian paman. Ketika terbaring di tempat tidur rumah sakit, paman berkata kepada nenek bahwa ada seseorang yang mengucapkan kata Assalamu’alaikum, namun tak seorangpun yang ada di ruangan itu mendengarnya. Tak lama setelah itu, paman pun menemui azalnya dengan tenang. Dari cerita nenekku itu, aku sangat yakin bahwa Tuhan telah menjemput pamanku dengan cara yang baik, dan saat ini ia berada di tempat yang baik pula di sisi-Nya.

            Pamanku dan cokelat koin yang dijanjikannya sebagai kado ulang tahun, menyadarkanku akan kehendak yang dimiliki Tuhan. Tuhan tidak mengabulkan keinginanku untuk mendapatkan cokelat koin dan kehadiran paman di hari specialku. Tapi Tuhan selalu punya rencana di balik rencana. Aku yakin Tuhan memanggil pamanku karena sayang kepadanya. Tuhan tidak membiarkan paman merasakan rasa sakitnya lebih lama lagi. Aku hanya bisa berdo’a, suatu saat nanti aku dan keluargaku akan kembali berkumpul bersama dengan paman di suatu tempat yang indah, di alam keabadian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar