Sabtu, 04 Juni 2016

Cerpen 1

Si Gila Hunteelar

Namanya adalah Alvidre Scheneider Hunteelar, orang-orang sering menyebutnya Si Gila Alvid. Seorang dokter bertangan dingin yang tinggal di Savannah, sebuah kota besar di Amerika Serikat sebelah timur. Pada saat itu Savannah bagaikan duplikat surga dengan segala keindahan alam yang disuguhkan, sayang,  tidak banyak orang yang mengenal kota itu.


Alvid berjalan berkeliling kota untuk menghilangkan penat dan juga sekalian membeli bahan makanan, walaupun kota ini besar, penghuninya sangatlah jarang, wajar saja mereka yang tinggal di sana mengenal satu sama lainnya. Dengan kantong kertas yang berisi buah dan sayur, Alvid mampir ke Jack’s Barber untuk mencukur rambutnya yang sudah menjuntai ke bawah hampir sebahu.
Dengan wajah baru–alias rambut baru dipotong–Alvid pulang ke rumah, Alvid sedikit terkejut dengan keadaan depan rumahnya yang  dikerumuni orang. Apa-apaan ini?
Alvid bergegas memasuki halaman rumahnya dan berteriak ada apa, ternyata ada korban kecelakaan lalu lintas dengan darah berlumuran di mana-mana, Alvid berteriak lagi agar mereka berhenti mengerumuni korban dan membiarkan dia membawanya masuk ke rumah untuk ditangani. Alvid membawanya ke ruangan khusus dia bekerja, lebih mirip rumah sakit mini kalau mau tahu. Alvid membersihkan darah yang menutupi hampir seluruh tubuh korban dengan cepat dan tepat.
“Tahan sebentar, ini akan sakit.” Ucap Alvid yang siap melakukan operasi kecil-kecilan. Setelah itu hanya erangan kesakitan bertubi-tubi yang terdengar.
Ini sudah hampir satu bulan, tapi si pasien yang dia sebut dengan nama Rei masih tinggal di rumahnya. Dia sudah pulih, hanya saja dia tidak punya rumah untuk kembali pulang. Alvid membiarkan dia tinggal di sini, toh dia membantunya untuk membereskan rumah.
Alvid pergi ke perpustakaan pusat kota, berharap dia bisa mendapat pencerahan di sana. Alvid berkeliling mengitari rak buku bertuliskan ‘Makhluk Hidup’ hingga ia menemukan sebuah buku kucel tak bersampul dengan halaman pertama gambar kodok. Entah dengan alasan apa Alvid membawa buku itu ke salah satu meja untuk dibacanya.
Alvid mengembalikan buku itu ke raknya lalu mencari buku yang lain, pilihannya pada buku tentang ikan-ikan, di sana dia menemukan gambar ikan puffer dengan semua penjelasan yang tersedia, senyum miring tercipta di bibir tebalnya. Ada apa gerangan dengan si dokter?
Setelah selesai dengan pencariannya di perpustakaan, Alvid pergi ke sebuah danau yang terletak di perbatasan kota. Dia melihat sekeliling danau dan merasa tidak mungkin ia akan mendapat yang dia inginkan di sini tetapi apa salahnya mencoba? Alvid menggunakan perahu sewaan sebagai alternatif mengitari danau ini namun seperti instingnya tadi, dia tidak  mendapat apa-apa dari sini.
Sepulang dari danau Alvid mencari telepon umum, ini sudah larut tapi dia tidak mau pulang dengan hati dan pikiran yang masih penasaran. Dia berniat menelepon adiknya, Alfre, semoga saja anak nakal itu bisa membantunya.


Setelah berkata ini itu, mengomel sana sini, akhirnya Alvid tersenyum puas setelah ia akan mendapatkan apa yang dia cari. Alvid bersenandung sepanjang jalan, moodnya sedang dalam keadaan sangat baik.
“Aey Alvid! Bagaimana keadaan pasien korban kecelakaanmu itu? Kudengar dia belum juga pulang dari rumahmu?” seorang wanita gendut bertanya begitu Alvid melewati rumah mewahnya. “Hai Audrey! Iya padahal ini sudah hampir sebulan, apa kau tidak tahu keluarganya di mana dan siapa?” bohong Alvid.
Tepat 5 hari setelah itu, Alfre datang ke rumah, dengan wajah sumringah Alvid menyambut adiknya dengan senang dan segera menagih pesanannya. Dengan wajah curiga Alfre tiduran di sofa untuk meluruskan otot punggungnya.
“Untuk apa kau menyuruhku mencari begituan? Astaga dasar merepotkan!”
Alvid tertawa lalu memberi isyarat kepada Alfre untuk mengikutinya, walaupun kelihatannya ogah-ogahan, Alfre tetap saja mengikuti. Alvid membawanya ke ruangan pasien, Rei sedang tidur siang di sana.
“Sial, sudah 23 hari dia tinggal di sini.” Alvid mengeluh pada adiknya dan menceritakan apa saja yang bersangkutan dengan Rei, “Percuma kau bercerita itu, aku tidak bisa membantu, konyol dasar.” Alfre duduk di kursi kerja kakaknya.
“Kau telah membantuku, anak bandel,” Alvid mengambil kantung plastik yang berisi seekor katak mati dan plastik lainnya yang berisi ikan buffer. Mata Alfre bergerak mengikuti pergerakan kakaknya, dia membawa katak itu ke sebuah meja dan mengambil pisau kecil. Alfre menatap datar kakaknya yang menguliti katak itu lalu memisahkan kulitnya ke dalam mangkuk bening.  Apakah si Alvid ingin membuat keripik kulit katak? Pikirnya, menjijikan.
“Kau tau, Fre? Aku membaca sebuah buku yang berkata bahwa kulit katak ini sangat berbahaya karna terdapat zat biogenetik amina yaitu bufogenin dan bufotoksin, keduanya adalah racun katak yang berbahaya,” Alvid membuang bangkai katak tanpa kulit ke tong sampah lalu melirik Alfre yang bengong dengan penjelasannya. Alvid tersenyum remeh lalu mengambil plastik yang lainnya.
“dan ikan yang kau bawa ini, namanya ikan puffer atau ikan fugo, Nyonya Puff, kau tau dia kan?” dalam keadaan seperti ini bisa-bisanya Alvid bercanda, Alfre tentu saja tahu, Nyonya Puff adalah guru mengemudinya Spongebob yang badannya akan menggelembung jika sudah terlampau stress.
Alfre mengikuti kakaknya yang berjalan ke dapur membawa ikan puffer dan kulit katak kupasannya tadi, “Mau dimasak? Kau bilang tadi kataknya beracun?” Alfre tentu saja tidak habis pikir dengan kakaknya saat Alvid mengambil panci dan mendidihkan air di sana, lalu memasukan kulit katak itu, “Ah iya aku lupa, ikan buffer juga memiliki kandungan racun yang disebut tetrodoksin, ini adalah racun saraf yang mematikan–“
“Astaga kau mau membunuh pasienmu sendiri hah?” bentak Alfre memotong penjelasan kakaknya, dia menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir dengan kelakukan kakaknya, “Jauh dari keluarga kau malah berubah menjadi monster begini!”
“–efek penghilang rasa sakitnya 160.000 kali lebih kuat daripada kokain. Memakan ikan ini bisa membuat ‘kematian’ karena kandungan racunnya.” Alvid tidak mengindahkan perkataan adiknya, Alvid mencincang ikan itu lalu memasukannya ke dalam masakannya, lalu menoleh pada adiknya, “kau mau coba?”
Alfre tetap tidak beranjak dari sana, sedikit penasaran dengan apa yang akan dilakukan kakaknya. Alvid mengangkat rebusannya lalu menyimpannya diatas tumbukan, lalu menghaluskan keduanya. “Aku penasaran dengan kedua zat beracun ini jika disatukan akan menciptakan efek apa,” Jawab Alvid sambil merengut, menggelikan.
Racikannya sudah jadi, Alvid dengan riang menuangkannya ke dalam mangkuk kecil dan mencium baunya, “hmmm...sepertinya akan enak, ayo kita beri makan Rei!”
“Kau gila, Alvid! Aku pulang!” Alfre tidak mau menyaksikan seseorang meregang nyawa ulah kakaknya, lebih baik dia pergi, menghalang-halangi niat busuk kakaknya hanya akan berakibat buruk. Pergi dari sini adalah pilihan tepat, yang benar?
Alvid membangunkan Rei dari tidurnya,  “Makan ini, kuharap kau akan menghabiskannya, aku sulit untuk membuatnya.” Ucapnya pada Rei yang terlihat ragu-ragu karna bau tidak sedap dari makanan itu. “Itu obat, percayalah. Maka dari itu baunya tidak enak.”
Rei mengangguk lalu memakan semuanya, walau lambat tapi habis, Alvid tersenyum puas. “Aku tinggal dulu sebentar ya, istirahat lagi saja dulu.” Tepat setelah berkata itu, terdengar ketukan dari pintu utama. Alvid membuka pintu dan telah berdiri dua orang petugas keamanan, “Hai dokter, seperti biasa, kami ingin memeriksa rumahmu.”
Alvid mempersilahkan mereka masuk, ini bukanlah hal yang aneh di kota mereka. Setiap bulannya selalu rutin ada pemeriksaan, biar saja, toh dia tidak menyembunyikan bom juga di sini.
“Ah orang ini masih belum sembuh?” tanya seorang petugas keamanan sambil menunjuk Rei yang terbaring tak bergerak. Alvid mengangguk untuk mengiyakan, satu petugas keamanan itu menghampiri Rei lebih dekat.
“Tidak ada informasi tentang dia?” Alvid menggeleng, petugas keamanan itu sepertinya menemukan hal yang tidak beres, dia mencium bau busuk, “bau busuk apa ini?” tanyanya, “Oh itu tadi aku baru membuang bangkai tikus.” Jawab Alvid tenang.
 Petugas keamaan yang tadi berdiri di ambang pintu ruang kerja ikut masuk lalu menyentuh dada Rei, “Dokter, ini tidak bergerak!”
Sepertinya petugas yang satu ini sudah memperhatikan pasien yang tidak bergerak sama sekali ini, Alvid terkejut bukan main, dengan cepat dia berlari menghampiri Rei dan mengambil stetoskopnya, diam-diam dia bernafas lega, sebenarnya jantung Rei masih berdetak, hanya saja ini sangat-sangat pelan dan kecil.
 “Kita akan menguburkannya secepatnya,” Alvid tidak bisa berkata-kata setelah ucapan petugas keamanan itu, “jangan merasa bersalah, mungkin ini sudah ajalnya.” Ucap terakhir petugas keamaan sambil memegang bahu Alvid.
Esok malamnya Alvid tidak bisa tidur, tadi pagi Rei baru saja dikubur hidup-hidup. Tentu saja, dia masih hidup, dan hanya Alvid yang tahu. Dengan perasaan kalut, dia pergi ke pemakaman Rei dan menggalinya ulang. Tidak, Rei belum boleh mati.
Sambil mengendap-ngendap Alvid membawa Rei ke rumahnya, keadaannya amat sangat mengerikan, kulitnya sedikit membusuk entah karna hewan tanah atau efek samping makanan kemarin, tapi masih hidup. Rei terbangun, matanya terbuka lemah, sorot matanya menunjukan kebencian dan sakit. Alvid tahu dirinya harus melakukan sesuatu. Sesuai dengan yang dia rencanakan, Alvid mengambil sebuah bunga di sudut ruangan lalu memaksa Rei memakannya. Setelah itu Rei tak sadarkan diri.
“Itu adalah daruta, sejenis rumput jimson, mengandung bahan kimia atropin, hyoskiamin dan skopolamin.” Jelas Alvid pada Rei yang tak sadarkan diri.
Keesokan harinya, Alvid berniat menyapa Rei ke ruangannya tapi dia dikagetkan dengan sosok makhluk menyeramkan berdiri di depan pintu kamarnya. “Kau siapa?” tanya sosok itu kepada Alvid, Alvid menyipitkan matanya berusaha mengenali sosok itu. Astaga itu Rei!
“Aku di mana? Kenapa aku ada di sini?”
Alvid tersenyum senang dengan hasil perbuatannya, ini semua sesuai dengan yang dipikirkannya. Setelah mengelabui orang-orang bahwa Rei meninggal, dia mencekoki Rei dengan daruta, yang notabenenya akan menyebabkan hilang ingatan tidak permanen pada yang memakannya.
“Aku adalah tuanmu, itu artinya kau adalah budakku.”
Alvid menamai racikan tempo hari yang dia buat adalah ramuan ‘bufo bufo’ untuk membuat zombie versinya sendiri. Di sisa hidupnya, Alvid menculik orang Amerika yang berkulit gelap untuk dimatikan suri lalu membuatnya hilang ingatan, lalu dijadikannya budak dan dijualnya ke para bangsawan.
Itu adalah zombie pada zaman dahulu, namun Alvid tertangkap polisi setelah 20 tahun beroperasi dan mendapatkan hukuman mati.
Tapi tanpa mereka sadari, seseorang sedang mempersiapkan hal yang lebih keji dari ini. Dia adalah Alfredo Scheneider Hunteelar, yang diam-diam telah menciptakan zombie buatannya sendiri. Makhluk bagai monster yang tak punya akal, tak berperasaan, tak berakal budi serta memiliki rasa lapar pada darah dan daging manusia.
Dengan wajahnya yang baik seperti tanpa dosa, mudah baginya untuk mengelabui orang-orang bahwa dia mempunya sisi monster di dalam jiwanya. Siapa yang akan menyangka dia telah menculik ratusan orang dalam kurun waktu  5 tahun? Menyuntikan virus biadab pada setiap korbannya, lalu menyimpannya di sebuah tempat yang amat sangat besar dan tersembunyi?
“Terima kasih untuk Alvidre Scheneider Hunteelar, almarhum kakakku tersayang,”
Senyumnya sambil melihat mahakaryanya–para zombie– dengan puas, “karnamu aku bisa menciptakan semua ini. Terima kasih untuk teori tololmu yang ternyata menyenangkan. Suatu saat nanti, ketika angka kehidupan di dunia ini membeludak, ketika dunia ini dipenuhi oleh manusia-manusia bodoh tak berguna, aku akan melepaskan kesayangan-kesayanganku ini ke luar sana untuk melenyapkan peradaban manusia.”

Selesai


Tidak ada komentar:

Posting Komentar