Si Gila Hunteelar
Namanya
adalah Alvidre Scheneider Hunteelar, orang-orang sering menyebutnya Si Gila
Alvid. Seorang dokter bertangan dingin yang tinggal di Savannah, sebuah kota
besar di Amerika Serikat sebelah timur. Pada saat itu Savannah bagaikan
duplikat surga dengan segala keindahan alam yang disuguhkan, sayang, tidak banyak orang yang mengenal kota itu.
Alvid
berjalan berkeliling kota untuk menghilangkan penat dan juga sekalian membeli
bahan makanan, walaupun kota ini besar, penghuninya sangatlah jarang, wajar
saja mereka yang tinggal di sana mengenal satu sama lainnya. Dengan kantong
kertas yang berisi buah dan sayur, Alvid mampir ke Jack’s Barber untuk mencukur
rambutnya yang sudah menjuntai ke bawah hampir sebahu.
Dengan
wajah baru–alias rambut baru dipotong–Alvid pulang ke rumah, Alvid sedikit
terkejut dengan keadaan depan rumahnya yang
dikerumuni orang. Apa-apaan ini?
Alvid
bergegas memasuki halaman rumahnya dan berteriak ada apa, ternyata ada korban
kecelakaan lalu lintas dengan darah berlumuran di mana-mana, Alvid berteriak
lagi agar mereka berhenti mengerumuni korban dan membiarkan dia membawanya
masuk ke rumah untuk ditangani. Alvid membawanya ke ruangan khusus dia bekerja,
lebih mirip rumah sakit mini kalau mau tahu. Alvid membersihkan darah yang
menutupi hampir seluruh tubuh korban dengan cepat dan tepat.
“Tahan
sebentar, ini akan sakit.” Ucap Alvid yang siap melakukan operasi
kecil-kecilan. Setelah itu hanya erangan kesakitan bertubi-tubi yang terdengar.
Ini
sudah hampir satu bulan, tapi si pasien yang dia sebut dengan nama Rei masih
tinggal di rumahnya. Dia sudah pulih, hanya saja dia tidak punya rumah untuk
kembali pulang. Alvid membiarkan dia tinggal di sini, toh dia membantunya untuk
membereskan rumah.
Alvid
pergi ke perpustakaan pusat kota, berharap dia bisa mendapat pencerahan di
sana. Alvid berkeliling mengitari rak buku bertuliskan ‘Makhluk Hidup’ hingga
ia menemukan sebuah buku kucel tak bersampul dengan halaman pertama gambar
kodok. Entah dengan alasan apa Alvid membawa buku itu ke salah satu meja untuk
dibacanya.
Alvid
mengembalikan buku itu ke raknya lalu mencari buku yang lain, pilihannya pada
buku tentang ikan-ikan, di sana dia menemukan gambar ikan puffer dengan semua
penjelasan yang tersedia, senyum miring tercipta di bibir tebalnya. Ada apa
gerangan dengan si dokter?
Setelah
selesai dengan pencariannya di perpustakaan, Alvid pergi ke sebuah danau yang terletak
di perbatasan kota. Dia melihat sekeliling danau dan merasa tidak mungkin ia
akan mendapat yang dia inginkan di sini tetapi apa salahnya mencoba? Alvid
menggunakan perahu sewaan sebagai alternatif mengitari danau ini namun seperti
instingnya tadi, dia tidak mendapat
apa-apa dari sini.
Sepulang
dari danau Alvid mencari telepon umum, ini sudah larut tapi dia tidak mau
pulang dengan hati dan pikiran yang masih penasaran. Dia berniat menelepon
adiknya, Alfre, semoga saja anak nakal itu bisa membantunya.
Setelah
berkata ini itu, mengomel sana sini, akhirnya Alvid tersenyum puas setelah ia
akan mendapatkan apa yang dia cari. Alvid bersenandung sepanjang jalan, moodnya
sedang dalam keadaan sangat baik.
“Aey
Alvid! Bagaimana keadaan pasien korban kecelakaanmu itu? Kudengar dia belum
juga pulang dari rumahmu?” seorang wanita gendut bertanya begitu Alvid melewati
rumah mewahnya. “Hai Audrey! Iya padahal ini sudah hampir sebulan, apa kau
tidak tahu keluarganya di mana dan siapa?” bohong Alvid.
Tepat 5
hari setelah itu, Alfre datang ke rumah, dengan wajah sumringah Alvid menyambut
adiknya dengan senang dan segera menagih pesanannya. Dengan wajah curiga Alfre
tiduran di sofa untuk meluruskan otot punggungnya.
“Untuk
apa kau menyuruhku mencari begituan? Astaga dasar merepotkan!”
Alvid
tertawa lalu memberi isyarat kepada Alfre untuk mengikutinya, walaupun
kelihatannya ogah-ogahan, Alfre tetap saja mengikuti. Alvid membawanya ke
ruangan pasien, Rei sedang tidur siang di sana.
“Sial,
sudah 23 hari dia tinggal di sini.” Alvid mengeluh pada adiknya dan menceritakan
apa saja yang bersangkutan dengan Rei, “Percuma kau bercerita itu, aku tidak
bisa membantu, konyol dasar.” Alfre duduk di kursi kerja kakaknya.
“Kau telah
membantuku, anak bandel,” Alvid mengambil kantung plastik yang berisi seekor
katak mati dan plastik lainnya yang berisi ikan buffer. Mata Alfre bergerak
mengikuti pergerakan kakaknya, dia membawa katak itu ke sebuah meja dan
mengambil pisau kecil. Alfre menatap datar kakaknya yang menguliti katak itu
lalu memisahkan kulitnya ke dalam mangkuk bening. Apakah
si Alvid ingin membuat keripik kulit katak? Pikirnya, menjijikan.
“Kau
tau, Fre? Aku membaca sebuah buku yang berkata bahwa kulit katak ini sangat
berbahaya karna terdapat zat biogenetik amina yaitu bufogenin dan bufotoksin,
keduanya adalah racun katak yang berbahaya,” Alvid membuang bangkai katak tanpa
kulit ke tong sampah lalu melirik Alfre yang bengong dengan penjelasannya. Alvid
tersenyum remeh lalu mengambil plastik yang lainnya.
“dan
ikan yang kau bawa ini, namanya ikan puffer atau ikan fugo, Nyonya Puff, kau
tau dia kan?” dalam keadaan seperti ini bisa-bisanya Alvid bercanda, Alfre
tentu saja tahu, Nyonya Puff adalah guru mengemudinya Spongebob yang badannya
akan menggelembung jika sudah terlampau stress.
Alfre
mengikuti kakaknya yang berjalan ke dapur membawa ikan puffer dan kulit katak
kupasannya tadi, “Mau dimasak? Kau bilang tadi kataknya beracun?” Alfre tentu
saja tidak habis pikir dengan kakaknya saat Alvid mengambil panci dan
mendidihkan air di sana, lalu memasukan kulit katak itu, “Ah iya aku lupa, ikan
buffer juga memiliki kandungan racun yang disebut tetrodoksin, ini adalah racun
saraf yang mematikan–“
“Astaga
kau mau membunuh pasienmu sendiri hah?” bentak Alfre memotong penjelasan
kakaknya, dia menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir dengan kelakukan
kakaknya, “Jauh dari keluarga kau malah berubah menjadi monster begini!”
“–efek
penghilang rasa sakitnya 160.000 kali lebih kuat daripada kokain. Memakan ikan
ini bisa membuat ‘kematian’ karena kandungan racunnya.” Alvid tidak
mengindahkan perkataan adiknya, Alvid mencincang ikan itu lalu memasukannya ke
dalam masakannya, lalu menoleh pada adiknya, “kau mau coba?”
Alfre
tetap tidak beranjak dari sana, sedikit penasaran dengan apa yang akan
dilakukan kakaknya. Alvid mengangkat rebusannya lalu menyimpannya diatas
tumbukan, lalu menghaluskan keduanya. “Aku penasaran dengan kedua zat beracun
ini jika disatukan akan menciptakan efek apa,” Jawab Alvid sambil merengut, menggelikan.
Racikannya
sudah jadi, Alvid dengan riang menuangkannya ke dalam mangkuk kecil dan mencium
baunya, “hmmm...sepertinya akan enak, ayo kita beri makan Rei!”
“Kau
gila, Alvid! Aku pulang!” Alfre tidak mau menyaksikan seseorang meregang nyawa
ulah kakaknya, lebih baik dia pergi, menghalang-halangi niat busuk kakaknya
hanya akan berakibat buruk. Pergi dari sini adalah pilihan tepat, yang benar?
Alvid
membangunkan Rei dari tidurnya, “Makan
ini, kuharap kau akan menghabiskannya, aku sulit untuk membuatnya.” Ucapnya
pada Rei yang terlihat ragu-ragu karna bau tidak sedap dari makanan itu. “Itu
obat, percayalah. Maka dari itu baunya tidak enak.”
Rei
mengangguk lalu memakan semuanya, walau lambat tapi habis, Alvid tersenyum
puas. “Aku tinggal dulu sebentar ya, istirahat lagi saja dulu.” Tepat setelah
berkata itu, terdengar ketukan dari pintu utama. Alvid membuka pintu dan telah
berdiri dua orang petugas keamanan, “Hai dokter, seperti biasa, kami ingin
memeriksa rumahmu.”
Alvid
mempersilahkan mereka masuk, ini bukanlah hal yang aneh di kota mereka. Setiap
bulannya selalu rutin ada pemeriksaan, biar saja, toh dia tidak menyembunyikan
bom juga di sini.
“Ah
orang ini masih belum sembuh?” tanya seorang petugas keamanan sambil menunjuk
Rei yang terbaring tak bergerak. Alvid mengangguk untuk mengiyakan, satu
petugas keamanan itu menghampiri Rei lebih dekat.
“Tidak
ada informasi tentang dia?” Alvid menggeleng, petugas keamanan itu sepertinya
menemukan hal yang tidak beres, dia mencium bau busuk, “bau busuk apa ini?”
tanyanya, “Oh itu tadi aku baru membuang bangkai tikus.” Jawab Alvid tenang.
Petugas keamaan yang tadi berdiri di ambang
pintu ruang kerja ikut masuk lalu menyentuh dada Rei, “Dokter, ini tidak
bergerak!”
Sepertinya
petugas yang satu ini sudah memperhatikan pasien yang tidak bergerak sama
sekali ini, Alvid terkejut bukan main, dengan cepat dia berlari menghampiri Rei
dan mengambil stetoskopnya, diam-diam dia bernafas lega, sebenarnya jantung Rei
masih berdetak, hanya saja ini sangat-sangat pelan dan kecil.
“Kita akan menguburkannya secepatnya,” Alvid
tidak bisa berkata-kata setelah ucapan petugas keamanan itu, “jangan merasa
bersalah, mungkin ini sudah ajalnya.” Ucap terakhir petugas keamaan sambil
memegang bahu Alvid.
Esok
malamnya Alvid tidak bisa tidur, tadi pagi Rei baru saja dikubur hidup-hidup.
Tentu saja, dia masih hidup, dan hanya Alvid yang tahu. Dengan perasaan kalut,
dia pergi ke pemakaman Rei dan menggalinya ulang. Tidak, Rei belum boleh mati.
Sambil
mengendap-ngendap Alvid membawa Rei ke rumahnya, keadaannya amat sangat
mengerikan, kulitnya sedikit membusuk entah karna hewan tanah atau efek samping
makanan kemarin, tapi masih hidup. Rei terbangun, matanya terbuka lemah, sorot
matanya menunjukan kebencian dan sakit. Alvid tahu dirinya harus melakukan
sesuatu. Sesuai dengan yang dia rencanakan, Alvid mengambil sebuah bunga di
sudut ruangan lalu memaksa Rei memakannya. Setelah itu Rei tak sadarkan diri.
“Itu
adalah daruta, sejenis rumput jimson, mengandung bahan kimia atropin,
hyoskiamin dan skopolamin.” Jelas Alvid pada Rei yang tak sadarkan diri.
Keesokan
harinya, Alvid berniat menyapa Rei ke ruangannya tapi dia dikagetkan dengan
sosok makhluk menyeramkan berdiri di depan pintu kamarnya. “Kau siapa?” tanya
sosok itu kepada Alvid, Alvid menyipitkan matanya berusaha mengenali sosok itu.
Astaga itu Rei!
“Aku di
mana? Kenapa aku ada di sini?”
Alvid
tersenyum senang dengan hasil perbuatannya, ini semua sesuai dengan yang
dipikirkannya. Setelah mengelabui orang-orang bahwa Rei meninggal, dia
mencekoki Rei dengan daruta, yang notabenenya akan menyebabkan hilang ingatan
tidak permanen pada yang memakannya.
“Aku
adalah tuanmu, itu artinya kau adalah budakku.”
Alvid
menamai racikan tempo hari yang dia buat adalah ramuan ‘bufo bufo’ untuk
membuat zombie versinya sendiri. Di sisa hidupnya, Alvid menculik orang Amerika
yang berkulit gelap untuk dimatikan suri lalu membuatnya hilang ingatan, lalu
dijadikannya budak dan dijualnya ke para bangsawan.
Itu
adalah zombie pada zaman dahulu, namun Alvid tertangkap polisi setelah 20 tahun
beroperasi dan mendapatkan hukuman mati.
Tapi
tanpa mereka sadari, seseorang sedang mempersiapkan hal yang lebih keji dari
ini. Dia adalah Alfredo Scheneider Hunteelar, yang diam-diam telah menciptakan
zombie buatannya sendiri. Makhluk bagai monster yang tak punya akal, tak
berperasaan, tak berakal budi serta memiliki rasa lapar pada darah dan daging
manusia.
Dengan
wajahnya yang baik seperti tanpa dosa, mudah baginya untuk mengelabui
orang-orang bahwa dia mempunya sisi monster di dalam jiwanya. Siapa yang akan
menyangka dia telah menculik ratusan orang dalam kurun waktu 5 tahun? Menyuntikan virus biadab pada setiap
korbannya, lalu menyimpannya di sebuah tempat yang amat sangat besar dan
tersembunyi?
“Terima
kasih untuk Alvidre Scheneider Hunteelar, almarhum kakakku tersayang,”
Senyumnya
sambil melihat mahakaryanya–para zombie– dengan puas, “karnamu aku bisa
menciptakan semua ini. Terima kasih untuk teori tololmu yang ternyata
menyenangkan. Suatu saat nanti, ketika angka kehidupan di dunia ini membeludak,
ketika dunia ini dipenuhi oleh manusia-manusia bodoh tak berguna, aku akan
melepaskan kesayangan-kesayanganku ini ke luar sana untuk melenyapkan peradaban
manusia.”
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar