THE PIECES OF MOMENTO
Namaku
Massy, aku mahasiswi jurusan Komunikasi tingkat tiga dan berusia 19tahun. Aku
menjalani hari-hariku seperti gadis pada umumnya. Tapi, tidak dengan hati.
Siapa yang bisa menebak apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam hati seseorang?
Dan inilah ceritaku, cerita tentang hatiku yang sekarang dan hatiku delapan
tahun lalu. Semua berawal dari kehadiranku sebagai murid baru di SMP Nusantara.
******************************
“Rambut
oke, seragam oke, dasi oke, sepatu oke juga. Duh kayak ada yang kurang deh,
duuuh tapi apa ya? Aduh apa dong?”
gerutuku dalam hati saat aku terus memperhatikan pantulan diriku di
cermin. 30 menit sudah aku berputar di depan cermin hanya untuk memastikan apakah
tampilanku sudah berada di titik sempurna. Yah, memang tidak ada yang bisa
mengalahkan atmosfer kegembiraan bersekolah di hari pertama. Bayangkan, aku
sudah berusia 12 tahun sekarang. Dan hari ini, hari pertama aku menggunakan
seragam putih – biru dan resmi menjadi siswi SMP. Setingkat lebih tinggi
dibandingkan beberapa bulan yang lalu, sewaktu masih menjadi siswi SD. Dengan
bangganya aku say good bye pada
seragam putih – merah, botol minuman tweety, serta rambut kepang dua. Langsung
saja aku bergegas menarik kenok pintu rumah dan mengirup udara segar di senin
super ceria ini. Matahari pun seakan ikut gembira melihat aku melangkah ke
sekolah baruku dengan senyuman lebar yang tersungging di bibir.
Tak
berapa lama aku sampai di halaman depan SMP Nusantara, tempat aku menimba ilmu
selama 3 tahun nanti Perlahan aku menyusuri taman yang berada di tengah gedung
luas berlantai tiga itu, taman sekolah baruku indah dan asri, “wah, bakal betah
nih sekolah disini kalau tamannya super adem kaya gini” gumamku seraya
tersenyum. Di dekat taman ada kantin sekolah yang sudah penuh disesaki siswa –
siswi SMP Nusantara, padahal jam masih menunjukan 06.30 pagi. “Mentang-mentang
hari pertama, pada mendadak rajin deh…” pikirku. Langkahku berhenti di depan
kelas yang berada di pojok ruangan lantai dua. Diatas pintu kelas terpampang
papan kecil bertuliskan angka I-7. “Ini kelasku! Ini kelasku!” teriakku
kegirangan dalam hati. Tak sabar rasanya untuk menjejakkan kaki di ruangan
kelas berbentuk persegi itu.
Ternyata
kelas sudah ramai dengan para penghuni
baru tahun ini. Tanpa berfikir panjang, langsung saja aku duduk di bangku
deretan paling kiri kedua dari belakang. Itu memang posisi duduk favoritku dari
SD. Seraya duduk manis di bangku pilihanku, mataku terus berputar ke seluruh
sudut ruangan kelas, berharap menemukan sosok yang kukenal, teman-teman SD ku.
Tapi sudah beberapa menit aku melemparkan pandanganku ke semua orang yang ada
di dalam kelas, tetap tidak ada seorang pun dari mereka yang kukenal. Tidak ada
yang satu sekloah denganku sewaktu SD dulu. Aku harus benar – benar beradaptasi
dengan teman-teman baruku dari nol.
Jam
dinding di kelas sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Kelas sudah terisi penuh
dan siswa-siswi kelas 1-7 pun sudah siap
menerima pelajaran baru di tempat duduk mereka masing-masing. Hey! Tetapi tidak
dengan bangku di sebelahku yang belum ada yang menempati. Malangnya aku duduk
sendiri. Tak lama kemudian muncul sosok pria tinggi tegap berkumis panjang yang
memperkenalkan diri sebagai Pak Jhon, wali kelas 1-7. Disaat Pak Jhon berbicara
di depan kelas, terdengar suara langkah kaki terburu buru dan tak berapa lama
suara asing itu berhenti tepat di depan kelas. “Tok..tok..tok…permisi Pak, maaf
saya telat” ujar sesosok lelaki jangkung berkacamata di ambang pintu sambil
terengah – engah. “Oh..ya sudah kamu boleh masuk” jawab Pak Jhon. Dan lelaki
itu masuk ke kelas tetapi sejenak berhenti sambil memperhatikan
sekeliling. Mungkin ia bingung mau duduk
dimana, karena memang semua bangku sudah terisi penuh, kecuali bangku
disebelahku. Dan mata lelaki itu langsung tertuju ke bangku kosong disebelahku.
“Pasti dia mau duduki disini deeh..” bisikku dalam hati. Dan benar saja, calon
teman baruku itu langsung berjalan menuju bangku ku dan dengan cueknya ia langsung
duduk di sebelahku tanpa menyapa bahkan menoleh sedikit pun. “Idih jutek
banget, nyapa kek, senyum kek, ga sopan deeh..” gerutuku dalam hati. Awalnya
aku tidak ingin menyapanya duluan, tetapi berhubung suasana semakin hambar dan
aku benar-benar butuh teman mengobrol , akhirnya aku memutuskan untuk membuka
obrolan dengannya.
“hai……..”
“ya…..”
“nama
gue Massy, lo”
“Lucky”
“dari
SD mana?”
“SDN
16 pagi, Sy”
Di
kata-kata terakhirnya, ia tersenyum padaku dan mengulurkan tangannya tanda ia
mau berteman denganku. Disitulah awal pertemuanku dan Lucky. Dan semenjak
senyuman manis pertamanya padaku itu, aku dan Lucky resmi menjadi teman
sebangku yang kompak. Kami sering mengobrol di taman sekolah bareng, ke kantin
sewaktu jam istirahat bareng, mengerjakan tugas di perpustakaan bareng, dan
bahkan aku dan Lucky memilih kegiatan ekstrakulikuler yang sama, yaitu basket,
olahraga kegemaran kami.
“Anak-anak, hari ini kita akan mengadakan
pemilihan pengurus kelas. Siapa yang kira-kira mau mencalonkan diri?” tanya Pak
John pada hari Senin pagi. Salah satu temanku langsung berdiri dan mengangkat
tangan. “Saya mencalonkan Lucky dan Massy, Pak” ujar temanku. “Baik, siapa yang
setuju Lucky menjadi ketua kelas?” tanya Pak John. Ada sekitar 30 temanku yang
mengangkat tangan, dan hari itu diputuskan Lucky menjadi ketua kelas, aku
menjadi sekertaris, dan Wati menjadi bendahara. Semenjak menjadi pasangan ketua
kelas – sekertaris, aku semakin dekat dengan Lucky.
Sekilas,
tidak ada yang begitu istimewa dari seorang Lucky, tapi entah mengapa aku
menganggapnya sebagai teman yang spesial. Aku suka caranya memperlakukanku
dengan manis, seperti sewaktu aku ingin main basket tetapi tidak ada yang
menemaniku, dan Lucky datang
jauh dari rumahnya hanya untuk menemaniku bermain basket di sekolah. Aku suka
caranya memperhatikanku, seperti disaat aku kelelahan dan lupa makan, “hey
bodoh, makan tuh jangan telat, kebiasaan ni anak, kalo loe pingsan kan gue
nggak kuat gendong, nih makan” ujarnya seraya menyodorkan roti isi coklat
sambil menjitak kepalaku. Aku juga suka kecerdasannya dalam pelajaran eksak,
seperti waktu ia mengajariku tentang rumus Paschal dan Archimedes sebelum Ujian
Tengah Semester. Dan untuk pertama kalinya aku berani berkata bahwa aku suka
dia, aku suka Lucky.
***************************
Dua tahun berlalu, dan semuanya
berubah secara perlahan. Sekarang aku duduk di kelas 3-6 dan Lucky di kelas 3-1. Kami memang sudah tidak pernah sekelas lagi
semenjak di 1-7 dulu. Bahkan, kami pun sudah tidak pernah bermain basket
bersama ataupun hanya sekedar mengobrol di taman sekolah. Intensitas pertemanan
kami sudah benar-benar berkurang, bertemu di sekolah saja jarang sekali,
mungkin karena sudah punya kesibukan masing-masing. Tetapi waktu pernah sekali
berpapasan dengannya, Lucky terlihat acuh dan tidak menyapaku. Sedih
sebenarnya, tetapi aku berfikir mungkin
Lucku sudah bertemu dengan teman dan dunianya yang baru. Sampai akhirnya,
pengumuman kelulusan di sekolahku tiba, aku lulus dengan nilai sangat memuaskan
dan diterima di SMAN 89 Jakarta dan Lucky diterima di SMAN 48 Jakarta Pusat.
Itu jauh sekali, aku merasa tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
Ditengah gegap gempita dan sorak
sorai teriakan kemenangan teman-teman sekolahku, Lucky menghampiriku
“Yah,
sekolah kita jauhan ya Sy…”
“Iya
Ky..” jawabku kikuk
“Jangan
lupa sering sms gue ya, kabarin di sekolah baru lo gimana, biar nanti juga bisa
main basket lagi” ujarnya sambil tersenyum dan memegang kepalaku
“Pasti
ky..”
Dan
itulah perbincangan terakhir aku dan Lucky, tiga tahun sudah aku mengenalnya,
tiga tahun juga aku memendam rasa sukaku dengan Lucky
*********************
Enam tahun berlalu, dan seiring
berjalannya waktu aku sudah bisa melupakan teman spesialku itu. Dan saat ini,
aku sudah menemukan pujaan hatiku yang baru, hatiku tertambat pada lelaki
bernama Bara, awalnya kami berpacatan baik-baik saja, tetapi 14 bulan berlalu
dan aku merasa jengah dengan Bara yang terlalu cuek dan super sibuk sampai tak
pernah ada waktu untukku. Tapi aku tidak bisa memutuskan hubunganku dengan
Bara, kata tidak terlalu berat untuk diucapkan kepada sosok lelaki yang aku
sayangi itu. Tak lama dari kegalauan
hatiku, handphone ku berbunyi
pertanda ada request bbm. Dan samar samar aku melihat nama Lucky Soebrata
terpampang di layar handphone ku. Ah!
Aku senang sekali! Rasanya benar-benar seperti bertemu lautan di tengah gurun
sahara. Enam tahun tidak ada kabar akhirnya aku bisa berkomunikasi kembali
dengan Lucky. Dua bulan sudah aku kembali berteman dengan Lucky dan aku bangga
dengan dirinya yang sekarang kuliah dan juga bekerja sebagai system analyst di perusahaan
pertambangan di Jakarta.
Akhirnya semesta mengijinkan kita
untuk bertemu, dan puncak merupakan awal tempat pertemuan kita setelah enam
tahun tidak bertemu sama sekali. Dan begitu kulihat Lucky, hatiku senang
sekali, sampai sulit untuk diungkapkan. Tidak banyak perubahan dari Lucky, dia
tetap jangkung dan berkacamata, dan dia tetap sering menebar senyuman manis
kepadaku. Dia tetap Lucky ku yang dulu. Di sela sela obrolan dia memegang
tanganku dan melepas jaketnya untukku.
“Sy,
gue sayang sama lo, dari dulu, dan sekarang pun tetap begitu”
Tak
ada satupun kata yang terlontar dari bibirku, tubuhnu benar-benar hanya bisa
terpatung di depannya. Mengapa ia baru sekarang mengungkapkan hal itu? Aku
sudah menunggunya sekian lama dan sampai pada akhirnya aku tidak pernah
berharap lebih padanya. mengapa disaat aku sudah bisa menetralkan rasa sukaku
ke Lucky, ia baru sekarang mengungkapkan hal itu? Mengapa disaat aku sudah
mempunyai Bara, ia baru sekarang mengungkapkan hal itu? Sungguh, aku tak tau
harus berbuat apa. Aku tak bisa memilih antara Lucky yang merupakan the pieces
of momento dalam hidupku ataukan Bara yang selama ini ada disampingku. Aku
hanya bisa diam dan bersandar sambil tersenyum di bahu bidangnya sambil menatap
bintang yang membuat ingatanku berkelana
ke masa masa SMP dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar