Sabtu, 04 Juni 2016

Cerpen 2

THE PIECES OF MOMENTO

Namaku Massy, aku mahasiswi jurusan Komunikasi tingkat tiga dan berusia 19tahun. Aku menjalani hari-hariku seperti gadis pada umumnya. Tapi, tidak dengan hati. Siapa yang bisa menebak apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam hati seseorang? Dan inilah ceritaku, cerita tentang hatiku yang sekarang dan hatiku delapan tahun lalu. Semua berawal dari kehadiranku sebagai murid baru di SMP Nusantara.


                                    ******************************
“Rambut oke, seragam oke, dasi oke, sepatu oke juga. Duh kayak ada yang kurang deh, duuuh tapi apa ya? Aduh apa dong?”  gerutuku dalam hati saat aku terus memperhatikan pantulan diriku di cermin. 30 menit sudah aku berputar di depan cermin hanya untuk memastikan apakah tampilanku sudah berada di titik sempurna. Yah, memang tidak ada yang bisa mengalahkan atmosfer kegembiraan bersekolah di hari pertama. Bayangkan, aku sudah berusia 12 tahun sekarang. Dan hari ini, hari pertama aku menggunakan seragam putih – biru dan resmi menjadi siswi SMP. Setingkat lebih tinggi dibandingkan beberapa bulan yang lalu, sewaktu masih menjadi siswi SD. Dengan bangganya aku say good bye pada seragam putih – merah, botol minuman tweety, serta rambut kepang dua. Langsung saja aku bergegas menarik kenok pintu rumah dan mengirup udara segar di senin super ceria ini. Matahari pun seakan ikut gembira melihat aku melangkah ke sekolah baruku dengan senyuman lebar yang tersungging di bibir.
Tak berapa lama aku sampai di halaman depan SMP Nusantara, tempat aku menimba ilmu selama 3 tahun nanti Perlahan aku menyusuri taman yang berada di tengah gedung luas berlantai tiga itu, taman sekolah baruku indah dan asri, “wah, bakal betah nih sekolah disini kalau tamannya super adem kaya gini” gumamku seraya tersenyum. Di dekat taman ada kantin sekolah yang sudah penuh disesaki siswa – siswi SMP Nusantara, padahal jam masih menunjukan 06.30 pagi. “Mentang-mentang hari pertama, pada mendadak rajin deh…” pikirku. Langkahku berhenti di depan kelas yang berada di pojok ruangan lantai dua. Diatas pintu kelas terpampang papan kecil bertuliskan angka I-7. “Ini kelasku! Ini kelasku!” teriakku kegirangan dalam hati. Tak sabar rasanya untuk menjejakkan kaki di ruangan kelas berbentuk persegi itu.
Ternyata  kelas sudah ramai dengan para penghuni baru tahun ini. Tanpa berfikir panjang, langsung saja aku duduk di bangku deretan paling kiri kedua dari belakang. Itu memang posisi duduk favoritku dari SD. Seraya duduk manis di bangku pilihanku, mataku terus berputar ke seluruh sudut ruangan kelas, berharap menemukan sosok yang kukenal, teman-teman SD ku. Tapi sudah beberapa menit aku melemparkan pandanganku ke semua orang yang ada di dalam kelas, tetap tidak ada seorang pun dari mereka yang kukenal. Tidak ada yang satu sekloah denganku sewaktu SD dulu. Aku harus benar – benar beradaptasi dengan teman-teman baruku dari nol.
Jam dinding di kelas sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Kelas sudah terisi penuh dan siswa-siswi kelas  1-7 pun sudah siap menerima pelajaran baru di tempat duduk mereka masing-masing. Hey! Tetapi tidak dengan bangku di sebelahku yang belum ada yang menempati. Malangnya aku duduk sendiri. Tak lama kemudian muncul sosok pria tinggi tegap berkumis panjang yang memperkenalkan diri sebagai Pak Jhon, wali kelas 1-7. Disaat Pak Jhon berbicara di depan kelas, terdengar suara langkah kaki terburu buru dan tak berapa lama suara asing itu berhenti tepat di depan kelas. “Tok..tok..tok…permisi Pak, maaf saya telat” ujar sesosok lelaki jangkung berkacamata di ambang pintu sambil terengah – engah. “Oh..ya sudah kamu boleh masuk” jawab Pak Jhon. Dan lelaki itu masuk ke kelas tetapi sejenak berhenti sambil memperhatikan sekeliling.  Mungkin ia bingung mau duduk dimana, karena memang semua bangku sudah terisi penuh, kecuali bangku disebelahku. Dan mata lelaki itu langsung tertuju ke bangku kosong disebelahku. “Pasti dia mau duduki disini deeh..” bisikku dalam hati. Dan benar saja, calon teman baruku itu langsung berjalan menuju bangku ku dan dengan cueknya ia langsung duduk di sebelahku tanpa menyapa bahkan menoleh sedikit pun. “Idih jutek banget, nyapa kek, senyum kek, ga sopan deeh..” gerutuku dalam hati. Awalnya aku tidak ingin menyapanya duluan, tetapi berhubung suasana semakin hambar dan aku benar-benar butuh teman mengobrol , akhirnya aku memutuskan untuk membuka obrolan dengannya.
“hai……..”
“ya…..”
“nama gue Massy, lo”
“Lucky”
“dari SD mana?”
“SDN 16 pagi, Sy”
Di kata-kata terakhirnya, ia tersenyum padaku dan mengulurkan tangannya tanda ia mau berteman denganku. Disitulah awal pertemuanku dan Lucky. Dan semenjak senyuman manis pertamanya padaku itu, aku dan Lucky resmi menjadi teman sebangku yang kompak. Kami sering mengobrol di taman sekolah bareng, ke kantin sewaktu jam istirahat bareng, mengerjakan tugas di perpustakaan bareng, dan bahkan aku dan Lucky memilih kegiatan ekstrakulikuler yang sama, yaitu basket, olahraga kegemaran kami.
 “Anak-anak, hari ini kita akan mengadakan pemilihan pengurus kelas. Siapa yang kira-kira mau mencalonkan diri?” tanya Pak John pada hari Senin pagi. Salah satu temanku langsung berdiri dan mengangkat tangan. “Saya mencalonkan Lucky dan Massy, Pak” ujar temanku. “Baik, siapa yang setuju Lucky menjadi ketua kelas?” tanya Pak John. Ada sekitar 30 temanku yang mengangkat tangan, dan hari itu diputuskan Lucky menjadi ketua kelas, aku menjadi sekertaris, dan Wati menjadi bendahara. Semenjak menjadi pasangan ketua kelas – sekertaris, aku semakin dekat dengan Lucky.
Sekilas, tidak ada yang begitu istimewa dari seorang Lucky, tapi entah mengapa aku menganggapnya sebagai teman yang spesial. Aku suka caranya memperlakukanku dengan manis, seperti sewaktu aku ingin main basket tetapi tidak ada yang menemaniku, dan Lucky datang jauh dari rumahnya hanya untuk menemaniku bermain basket di sekolah. Aku suka caranya memperhatikanku, seperti disaat aku kelelahan dan lupa makan, “hey bodoh, makan tuh jangan telat, kebiasaan ni anak, kalo loe pingsan kan gue nggak kuat gendong, nih makan” ujarnya seraya menyodorkan roti isi coklat sambil menjitak kepalaku. Aku juga suka kecerdasannya dalam pelajaran eksak, seperti waktu ia mengajariku tentang rumus Paschal dan Archimedes sebelum Ujian Tengah Semester. Dan untuk pertama kalinya aku berani berkata bahwa aku suka dia, aku suka Lucky.
                                    ***************************
            Dua tahun berlalu, dan semuanya berubah secara perlahan. Sekarang aku duduk di kelas 3-6 dan Lucky di kelas 3-1.  Kami memang sudah tidak pernah sekelas lagi semenjak di 1-7 dulu. Bahkan, kami pun sudah tidak pernah bermain basket bersama ataupun hanya sekedar mengobrol di taman sekolah. Intensitas pertemanan kami sudah benar-benar berkurang, bertemu di sekolah saja jarang sekali, mungkin karena sudah punya kesibukan masing-masing. Tetapi waktu pernah sekali berpapasan dengannya, Lucky terlihat acuh dan tidak menyapaku. Sedih sebenarnya, tetapi aku berfikir  mungkin Lucku sudah bertemu dengan teman dan dunianya yang baru. Sampai akhirnya, pengumuman kelulusan di sekolahku tiba, aku lulus dengan nilai sangat memuaskan dan diterima di SMAN 89 Jakarta dan Lucky diterima di SMAN 48 Jakarta Pusat. Itu jauh sekali, aku merasa tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
            Ditengah gegap gempita dan sorak sorai teriakan kemenangan teman-teman sekolahku, Lucky menghampiriku
“Yah, sekolah kita jauhan ya Sy…”
“Iya Ky..” jawabku kikuk
“Jangan lupa sering sms gue ya, kabarin di sekolah baru lo gimana, biar nanti juga bisa main basket lagi” ujarnya sambil tersenyum dan memegang kepalaku
“Pasti ky..”
Dan itulah perbincangan terakhir aku dan Lucky, tiga tahun sudah aku mengenalnya, tiga tahun juga aku memendam rasa sukaku dengan Lucky
                                                            *********************
            Enam tahun berlalu, dan seiring berjalannya waktu aku sudah bisa melupakan teman spesialku itu. Dan saat ini, aku sudah menemukan pujaan hatiku yang baru, hatiku tertambat pada lelaki bernama Bara, awalnya kami berpacatan baik-baik saja, tetapi 14 bulan berlalu dan aku merasa jengah dengan Bara yang terlalu cuek dan super sibuk sampai tak pernah ada waktu untukku. Tapi aku tidak bisa memutuskan hubunganku dengan Bara, kata tidak terlalu berat untuk diucapkan kepada sosok lelaki yang aku sayangi itu. Tak lama dari kegalauan  hatiku, handphone ku berbunyi pertanda ada request bbm. Dan samar samar aku melihat nama Lucky Soebrata terpampang di layar handphone ku. Ah! Aku senang sekali! Rasanya benar-benar seperti bertemu lautan di tengah gurun sahara. Enam tahun tidak ada kabar akhirnya aku bisa berkomunikasi kembali dengan Lucky. Dua bulan sudah aku kembali berteman dengan Lucky dan aku bangga dengan dirinya yang sekarang kuliah dan juga bekerja sebagai system analyst di perusahaan pertambangan di Jakarta.
            Akhirnya semesta mengijinkan kita untuk bertemu, dan puncak merupakan awal tempat pertemuan kita setelah enam tahun tidak bertemu sama sekali. Dan begitu kulihat Lucky, hatiku senang sekali, sampai sulit untuk diungkapkan. Tidak banyak perubahan dari Lucky, dia tetap jangkung dan berkacamata, dan dia tetap sering menebar senyuman manis kepadaku. Dia tetap Lucky ku yang dulu. Di sela sela obrolan dia memegang tanganku dan melepas jaketnya untukku.
“Sy, gue sayang sama lo, dari dulu, dan sekarang pun tetap begitu”
Tak ada satupun kata yang terlontar dari bibirku, tubuhnu benar-benar hanya bisa terpatung di depannya. Mengapa ia baru sekarang mengungkapkan hal itu? Aku sudah menunggunya sekian lama dan sampai pada akhirnya aku tidak pernah berharap lebih padanya. mengapa disaat aku sudah bisa menetralkan rasa sukaku ke Lucky, ia baru sekarang mengungkapkan hal itu? Mengapa disaat aku sudah mempunyai Bara, ia baru sekarang mengungkapkan hal itu? Sungguh, aku tak tau harus berbuat apa. Aku tak bisa memilih antara Lucky yang merupakan the pieces of momento dalam hidupku ataukan Bara yang selama ini ada disampingku. Aku hanya bisa diam dan bersandar sambil tersenyum di bahu bidangnya sambil menatap bintang yang  membuat ingatanku berkelana ke masa masa SMP dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar